Jumat, 30 Januari 2015

Surat Untuk Kau Yang Telah Jadi Mahasiswa


Eko Prasetyo dan Zely Ariane*

Semua ambisi itu sah, kecuali yang dicapai dengan menyengsarakan dan menginjak-injak kepercayaan orang lain (Joseph Conrad)

Assalamu’alaikum Wr Wb
Surat ini kutulis dengan hati berbunga. Rasanya terlalu cepat kau menginjak dewasa. Tampak matang kau ketika bersibuk mempersiapkan diri, cari tempat tinggal baru. Waktu kadang seperti sebilah kilatan cahaya. Melesat meninggalkan ku bersama guratan kenangan. Ingatan ku padamu nak, tak bisa dihapus usia: semasa kecil kau sekolah TK. Ada rasa takut saat pertama ku antar kau kesana. Tapi guru TK itu memberi uluran senyum, menyapa seakan beri percaya. Hingga ku yakin kau berada di tangan pendidik yang selalu bahagia. Rekaman itu berulang-ulang ku saksikan diantara foto-foto TK mu yang lucu. Olehmu, aku kau buat lupa sulitnya membesarkanmu seorang diri.
Sejak SD kau sudah pintar menyebut nama. Ibu kota hingga lagu kebangsaan fasih kau lagukan. Di SMP hapalannya sampai menyebut apa itu tugas MK. Di SMU lebih hebat lagi: kau utarakan pendapat tentang keadaan. Hari itu ku lihat kau bukan lagi anak kecil yang takut pada kenyataan. Sesekali aku kuatir dan cemas jika kau nanti dapat nilai buruk. Tapi kenyataan telah paksa aku belajar bahwa hidup itu sandaranya adalah sabar dan kekuatannya ada di rasa percaya. Tak terasa kini kau sudah mahasiswa.

Aku, dan kuyakin juga almarhum ayahmu, seperti melepas sebuah kereta. Nama kereta itu adalah pengalaman dengan tujuan ke kota harapan.

Memang biayanya tak kecil nak. Aku berusaha apapun untuk mendapatkan tiket itu. Biarlah peluh keringat itu bercampur dengan darah asalkan kau bisa kuliah. Bagi ku kebanggaan itu tak ada harganya, dan pengetahuan itu tak ada kuitansinya. Tentu kalau boleh jujur biaya masuk itu berat untuk ku: tapi mana ada kampus yang biayanya murah, nak?!. Walau kadang aku bertanya dalam hati: mengapa biayanya sebesar itu dan untuk keperluan apa saja sebenarnya? Tapi aku bingung kemana akan menanyakan itu semua, apakah didengarkan, dan apakah akan ada jawabannya. Ah, lebih baik aku percaya saja bahwa kampus memang akan melahirkan orang pintar, karena itu harus dengan biaya besar.

Maka pesanku nak:
Jangan engkau menjadi mahasiswa seadanya. Hanya menjalani kegiatan sekedarnya: kuliah, pulang dan bercanda. Kau istimewa bagi ku, maka jadikan hari-harimu istimewa disana. Hiruplah udara petualangan dengan belajar untuk jadi dewasa. Ciri seorang dewasa adalah berani, punya prinsip dan tak ragu mencoba. Kalau kau bertemu orang sedang susah, bantu dan belalah mereka. Kalau kau lihat ada kekejian maka lawanlah, dan hadapi takutmu. Sikap itu yang konon membuat mahasiswa dijuluki agen perubahan. Sikap itu yang membuat mahasiswa dianggap pendobrak kemapanan. Aku bangga kalau kau mampu tunaikan harapan itu nak. Harapan yang tak sampai aku tuju ketika harus membesarkanmu.
Karena itu nak,

Jangan mudah putus asa. Buruknya nilai ujian tak buat masa depanmu lebih buruk. Sejak dulu nilai sebuah pendidikan tak digantungkan pada nilai pelajaran, nak. Hidup mengajariku bahwa sekolah itu bukan sekadar untuk meraih nilai setinggi-tingginya, melainkan menambang pengalaman sebanyak-banyaknya. Aku buktikan ketika berhasil mengantarmu ke perguruan tinggi: tanpa nilai tinggi, cukup keberanian dan harga diri.

Maka jika ada demonstrasi menentang kezaliman, jangan takut untuk terlibat. Tempa pengalaman, jawab keingintahuan, dan asah kepedulian dengan melawan tiap tindakan sewenang-wenang. Hiasi nama dan tanda tanganmu tak saja di kertas-kertas administrasi perkuliahan, melainkan lembar-lembar petisi kemanusiaan. Aku ingin kau tumbuh: menjadi penyayang dan pemberani. Jangan takut melawan tapi takutlah kamu pada sikap diam melihat penindasan.

Maka jika ada permasalahan, jangan lari dan sembunyi dalam galau. Hadapi dengan berani. Keberanian bukan hadiah kehidupan, ia adalah upah dari kerja melawan ketakutan. Tiap kau berjumpa persoalan kemanusiaan maka berusalah tegak di hadapanya. Jangan kamu jadi pengecut dan lari menjauh dari persoalan. Jangan kau jadi anak egois, tak peduli dan tak mau mengerti. Bahkan ketika kuliah mu terganggu dan kau terancam, aku akan lebih bangga karena kau telah jujur pada keadaan. Besar hatiku menyaksikan mu tumbuh dengan pengalaman berjuang melawan ketidak-adilan dan mau berkorban untuk kepentingan kemanusiaan. Aku tak hanya mengantarkan kau menjadi sarjana bertoga tapi ingin menjemputmu sebagai sarjana yang punya pengalaman membela. Banggaku bukan pada nilai terbaikmu melainkan pengalaman muda yang mengasah prinsip kemanusiaanmu.

Ku katakan ini semua bukan tanpa tujuan.
Aku sungguh takut kau jadi seperti mereka yang kini ada di penjara. Para mahasiswa teladan yang hidupnya berhasil tapi berbuat nista. Seorang jaksa muda menerima suap dari kliennya, atau seorang ketua partai yang masih berusia muda terbukti mencuri uang negara. Dulunya mereka pintar dan punya prestasi sempurna. Malahan ada yang jadi dosen teladan dengan ringan menerima suap dari perusahaan yang harusnya diawasinya. Sakit hati orang tua melihat anaknya yang sarjana lalu berbuat nista pada sesamanya. Walau tak sedikit juga orang tua yang senang anak sarjananya membohongi dan memanfaatkan sesama demi menjadi kaya. Kita bukan dibesarkan dari keluarga demikian, nak. Tiap hari aku berdoa semoga kau di masa mendatang tidak terjerembab seperti mereka.

Karena itu nak jangan mudah terpesona tahta dan harta. Tahta itu posisi yang menyanjung kau sebagai orang penting. Ketika kau anggap dirimu harus diperlakukan istimewa, rindu untuk diberi sanjungan, dan merasa diri paling benar: itulah awal mula keculasan. Demikian pula harta yang memberi kau kemudahan untuk memiliki apapun. Tak ada dalam rencanaku ketika membesarkanmu untuk hanya jadi mahasiswa yang doyan belanja. Nilaimu bukan pada baju yang kau pakai, merk motor yang kau bawa atau jenis HP yang kau miliki. Nilai dirimu ada pada kesediaanmu untuk hidup ada adanya, berkorban untuk kepentingan yang melebihi kepentinganmu sendiri, dan mau membela siapa saja yang dilukai harkat kemanusiaanya. Ingat nak, nilai dirimu bukan diletakkan pada apa yang kau miliki tapi apa yang sanggup kau lakukan untuk dirimu sendiri, sesamamu, dan lingkunganmu!

Itu sebabnya nak pandai-pandailah menjaga diri. Jangan terlalu larut dengan kehidupan kampus yang memuja penampilan. Juga jangan terlalu cemas melihat keadaan sehingga kau kucilkan diri dan mengutuk semuanya. Terlibatlah dalam kehidupan sebagai anak muda optimis, kritis dan memberi pengaruh positif. Jika perlu ajaklah teman-temanmu untuk belajar tidak di kelas. Datangilah mereka yang dilanda kesusahan. Belalah mereka yang kini haknya sedang terancam. Sering-seringlah bergaul dengan orang pemberani. Dan mulailah membaca buku-buku yang memberi kau keyakinan tentang perubahan sosial.

Aku tak bisa selesaikan kuliahku karena kehadiranmu. Dan aku tak menyesal karena kau adalah pelajaran paling berharga dan bernilai yang pernah kudapatkan. Kau adalah toga kebahagiaan hidupku. Dalam usiamu yang baru menginjak 5 bulan di dalam perutku, aku sempat merindui masa-masa ketika aku jadi mahasiswa seperti mu. Tetapi Brecht dengan lantang menghardik pikiranku:

Disana kau duduk. Dan berapa banyak darah ditumpahkan
Hingga kau dapat duduk disana. Apa cerita semacam ini buat kau bosan?
Baiklah, jangan lupa ada orang lain duduk disitu sebelum kau
yang kemudian malah duduki orang lain. Angkat kepala mu!
Ilmu mu itu tak akan bernilai, kelak kau tau
Dan pelajaran itu akan mandul, kalau kau pikir menyenangkan
Kecuali kau ikrarkan kepandaianmu untuk berjuang
Melawan semua musuh-musuh kemanusiaan.
Jangan pernah lupa manusia seperti kau yang terluka
karena kau bisa duduk di sini sementara banyak yang lain tidak.
Dan sekarang jangan kau tutup matamu, dan jangan kabur
Tetapi belajarlah untuk mempelajari, dan cobalah mempelajari untuk apa kau belajar.1

Sekarang, aku tak lagi bisa menemanimu seperti pada masa TK dulu. Aku tak sanggup lagi menggenggam tanganmu untuk ku ajak melihat kegembiraan seperti waktu kecil dulu. Kini saatnya kau genggam tangan kawan-kawanmu, rakyat kebanyakan yang sedang mengalami kesulitan: buruh yang digaji kecil, petani yang disita tanahnya, pedagang kecil yang digusur lapaknya, nelayan yang susah hidupnya, perempuan yang jadi korban kekerasan di rumah dan di luar negeri, orang-orang yang entah kenapa tak boleh beribada dengan tenang atas keyakinannya. Ada aku diantara mereka, nak. Genggam tangan mereka dan berbagi kepercayaan bersama mereka. Sungguh bukan buku kuliah, ruang kuliah atau IP yang akan membesarkan harapanku: tapi jiwa mudamu yang mudah tersentuh dan peka pada penderitaan sesama.

Kelak aku bisa cerita pada yang lain kalau anakku bukan sekedar mahasiswa. Anakku belajar jadi dewasa di perguruan tinggi: punya sikap dan tak ragu berkorban untuk sesama. Anakku bukan duduk di kampus saja, tapi di belantara kehidupan rakyat yang kini mengalami derita. Bukunya bukan hanya diktat kuliah, tapi pengalaman memahami dan membela. Ajarannya tidak jadi hapalan dan dogma tapi perlawanan menentang ketidakadilan. Kelak ketika dekan atau rektor hendak melantikmu jadi sarjana, biar orang-orang kecil dan miskinlah yang pindahkan tali toganya.

Aku hanya titip pesan padamu nak, jangan sesekali kamu diperhamba oleh aturan, dan jangan pula takluk oleh ancaman. Aku tak ingin kau jadi mahasiswa yang gampang menyerah pada keadaan. Dan pelajaran kuliahmu tak satupun akan ajari kau budi pekerti itu.

Kusudahi surat ini sambil menatap wajah kecilmu. Lucu, nekat dan penuh keberanian. Tak ada cita-cita yang terlalu besar kukorbankan demi bersarkan kau untuk tunaikan cita-citamu.

Tugasku hampir selesai. Sekarang ku lepas kau bukan pada guru yang penuh perhatian, tempat yang padat aturan, tapi kehidupan mahasiswa yang sarat petualangan. Tak sabar aku tunggu kabar petualangan darimu. Ku tunggu kisahmu tegakkan keadilan dan ku nanti beritamu tentang perubahan. Aku tak akan bertanya berapa nilai ujianmu atau kapan kau akan tamatkan kuliahmu. Sebab aku percaya ketika ku antarkan kau ke kampus, kau akan belajar berterima kasih atas kursi kuliahmu yang diatasnya ada darah dan perjuangan orang-orang yang pernah dan tak bisa mendudukinya. Disana kau akan mengerti apa itu nilai, yang peluhnya adalah pengorbanan dan cara meraihnya dengan keberanian. Ketika kau pahami itu, maka tugasku akan selesai.

Nak, tak perlu berterima kasih, tapi sampaikan rasa terima kasihmu pada rakyat kecil yang akan memberi mu pelajaran tentang kebenaran dan perjuangan. Juga minta perlindungan dari Nya sehingga kau diberi kekuatan Iman, Harapan dan Keteguhan. Tuhan akan selalu menyertai siapa saja anak muda yang teguh memegang kebenaran dan berani memperjuangkannya.
Selamat berjuang nak, doaku selalu meyertai hari-harimu.

Walaikum sallam wr.wb
Aku,
Ibu yang selalu mencintai dan menyayangimu, selamanya.
***

*Eko Prasetyo adalah Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI) di Yogyakarta, dan Zely Ariane adalah anggota Politik Rakyat. Keduanya sedang berkolaborasi menulis buku yang mudah-mudahan bisa cepat terbit.

1 Dari puisi To the Students of the Workers’ and Peasants’ Faculty, Bertolt Brecht.


sumber :
http://carpetmoss.wordpress.com/
politik rakyat.com

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com